Bagi anggota APAHI, kata bekisar jelas bukan barang mewah lagi. Ini jelas, sebab akan berbeda jika diaplikasikan pada masyarakat umum. Bisa jadi, bahkan sekedar melihat kilat bulu bekisar pun masih ada ratusan juta jiwa penduduk Indonesia belum sempat merasakannya. Beda bekisar, beda pula ceriping pisang. Tentang ceriping pisang, sejauh sudah mampu berpikir, tanpa riset sesederhana apa pun akan bisa dipastikan bahwa hampir seluruh masyarakat Indonesia sudah mengenalnya. Nah, lalu apa hubungan antara bekisar dengan ceriping pisang? Tentu saja ada, jika dihubung-hubungkan. hehe..
Mencetak dan memperjualbelikan Bekisar adalah sebuah peluang wira usaha yang menjanjikan. Tak jauh beda dengan membuat dan memperdagangkan Ceriping Pisang. Jadi bekisar dan ceriping pisang sama-sama bernilai ekonomi yang menjanjikan, sejauh kita mau dan mampu mengedukasinya. Pertanyaan selanjutnya, lebih sulit mana mencetak bekisar dengan membuat ceriping pisang? Tentu akan ada jawaban beragam; sama mudahnya, sama sulitnya, sulit mencetak bekisar, atau juga sulit membuat ceriping pisang. Semua bergantung pada si penjawab, calon pelaku wirausaha.
Ada sebuah kekhawatiran besar jika ilmu perbekisaran diobral umum, terlebih secara gratis. Kekhawatiran yang masuk akal, jika perhitungannya adalah bahwa stok bekisar akan segera melimpah ruah. Dengan begitu tak akan ada lagi pemain atau para penghoby yang akan membeli bibit bekisar dari peternak. Menyebalkan bukan?
Terus apa hubungannya dengan ceriping pisang? Yups. telah puluhan bahkan ratusan kali work shop pembuatan ceriping pisang digelar di berbagai tempat, mulai dari tingkat Rt, Rw, dusun, desa/kelurahan, keamatan dan seterusnya namun tak juga banyak bermunculan pabrik ceriping pisang. Padahal modal usaha dan peralatan seringkali telah diberikan secara gratis. Lalu di mana letak permasalahannya? Ya, permasalahan utamanya adalah pada mental atau jiwa wira usaha.
Tetapi saya sangat ngantuk, maka tulisan ini saya lanjut besok. hehe..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar